Minggu, 10 Januari 2010

Kumpulan Cerpen kang Dwi

Jl. Kusumanegara

Adiku menelpon dari Jakarta. Ia mengatakan ingin pindah ke Jogja. Belum sempat aku bertanya, apa dia sudah diwisuda ataukah di DO dari universitas, ia menutup telponya. Amarahku kembali seperti sepuluh tahun yang lalu.

Sejak kematian ayahku aku rasakan sebuah kasih sayang yang memprihatinkan untuk adik laki-lakiku. Aku menjadi penentu dirumah. Ku ingin adik-adiku menjadi seperti yang kumau, aku mengenalkan buku-buku yang kusuka dan mengenalkan tokoh yang kupuja, mereka pura-pura menurut dan menuliskan puisi kearogananku dalam diarenya, seakan menunggu waktu untuk memberontak.

Saatnya tiba, ketika adik laki-lakiku menerima beasiswa di Semarang ia malah pergi ke Jakarta untuk kuliah disana. Ibu menangis seharian di dalam kamar. Aku marah bukan main dan memakinya dengan kata-kata yang kasar, tapi ia tetap berlalu.

Sejak saat itu hubungan kami renggang. Dia banyak bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa aktivis. Kegemaranya membaca buku-buku marxis, ia suka meneriakan kebebasan, mencemooh pejabat dan meremehkan pemerintah. Sekali kupeergoki wajahnya di TV dalam kerumunan orang yang sedang berteriak-teriak seperti kesetanan.

Aku sudah tak punya waktu atupun kesabaran untuk membuatnya sadar. Ia membuat dirinya hilang dari pandangan kami. Dan aku sempat mengira bahwa dia telah jauh tersesat.

“Mengapa sekarang ia ingin ke Jogja?, Apa ia telah mengubah hatinya. Apa ia bertengkar dengan teman-temanya?, apa polisi telah mencuci otaknya?, apa ia sudah bosan dengan buku-buku yang disembunyikan di bawah tempat tidurnya?”.Aku masih dalam seribu tanya.

Pagi itu Aku menjemputnya di bandara. Ia terlihat sakit, matanya bengkak dan ada bayangan biru di bawahnya. Rambutnya panjang berantakan. Ia memakai celana jin dan sepatu hitam bertali di kakinya.Tas ransel yang di gendongnya terlihat sangat berat.

Di dalam taksi baru kami bicara, mula-mula ia bertanya “apa ibu sehat?” kemudian air matanya mulai jatuh. Aku melempar tisu ke pangkuanya, ia menyapu punggung tanganya yang basah. Aku teringat saat ia kecil, pulang dengan darah di tangan dan kakinya karena berkelahi dengan temanya, tangisanya memekikan seisi rumah.

Aku masih diam dan menungu ia selesai dengan urusan matanya. Setelah ia menguasai dirinya ia berkata dengan suara yang kikuk. ”aku ingin belajar di Jogja bang, aku bosan di Jakarta”. Aku terkejut bukan main mendengar ucapanya , seribu pertanyaan menjejali pikiranku lagi.

Sampai di jalan Kusumanegara taksi yang kami tumpangi berjalan merangkak. Matahari seterik kepala orang-orang berikat kepala yang memenuhi badan jalan. Poster-poster bertuliskan cat merah dan bendera segi empat berserakan dimana-mana. Polisi berjaga-jaga di setiap pertigaan dan lorong gang. Asap mengepul dari ban bekas yang terbakar pekat membakar angkasa.

Di dalam taksi adiku melorotkan tubuhnya, seperti menyembunyikan matanya, ia buru-buru mengambil topi dan memakaikan di kepalanya, kemudian menyuruh sopir untuk berhenti tepat di depan makam pahlawan. Ia menarik tanganku dan menyeretku keluar. Aku berlari mengikuti jalannya yang cepat lalu masuk ke area pemakaman. Ia mengehempaskan tubuhnya di atas sebuah nisan tua dan menangis.

Siang hampir habis. Aku menepuk bahunya dan mengajaknya pulang. Tangannya yang gemetar memegang lenganku lalu berbisik di telingaku “apa kau mengenal Yogyakarta?” suaranya aneh.

“Ya. Ini jalan Kusumanegara”. Jawabku ringan.

Kemudian ia menatapku dalam-dalam dan kebali berkata, “apa kau mengenal Indonesia?”

Aku terdiam dan hanya tersenyum…

*Yogyakarta, 27Juni 2008*

Tidak ada komentar: