Anre
Cerpen: Dwi Nur Hidayat
Hujan belum sepenuhnya reda. Genangan air cokelat di jalan berlubang masih enggan merembes ke bumi. Kudekap tasku dan mempercepat langkahku menuju terminal. Kulirik jam di lenganku lalu mengacuhkan para calo yang terus melontarka pertanyaan, “Tidak mas terima kasih,” aku berlalu.
Sebentar lagi maghrib. Kutemukan bus terakhir yang berangkat kekotaku sore ini. Sebuah bis tua dengan gambar seekor naga yang sedang mencengkeram bola api. Warna hijau dan merahnya terlihat kusam dan sebagian sudah memudar. Aku duduk di deret belakang tepat disebelah kaca yang retak. Seperti mozaik yang indah tapi memprihatinkan. Kuhapus embun di kaca dengan telapak tanganku agar tidak menghalangi pandanganku keluar.
Seorang wanita tampak berlari kecil menuju bus dan masuk melalui pintu depan. Kulongokan kepalaku kemuka dan kulihat perempuan itu menuju kearahku. “Boleh duduk di sini“ Suaranya Tredegar serak. Aku mengangguk dan menggeser pantatku sedikit. Perempuan itu menarik nafas dalam dalam lalu mengempaskanya bersama tubuhnya yang jatuh di sebelahku.
Bis tua mulai berjalan, seperti juaga perasaanku yang tiba-tiba bergerak aneh, sepertinya aku mengenal perempuan yang duduk tepat di sebelahku. “Siapa?” Lamunanku tak sampai ketika seorang pengasong mengejutkanku dengan menyodorkan bebrapa bungkusan di wajahku. Bahasanya yang diplomatis memaksaku untuk membelinya sebungkus.
Di sepertiga perjalanan tiba-tiba mesin disel mengaum sangat keras ketika bis mencoba melewati truk dengan muatan yang penuh beban. Ccccciiiiiittttttttttt…!! .bus miring begitu rupa, semua penumpang menjerit histeris termasuk perempuan di sebelahku, ia mencengkeram lenganku dengan kuat kemudian melepaskanya perlahan dengan senyum malunya setelah bis kembali berjalan normal.
Jantungku hampir berhenti. Senyum perempuan itu melemparkan aku ke masa lalu. masa dimana harapan seperti bintang gemintang di jagad yang gelap dan menghilang perlahan bersama datangnya pagi.
Aku tersadar, aku benar mengenalnya.
“Dewi! kau kah itu?”
Perempuan itu tersentak, seolah dibangunkan dari tidurnya, lalu menatapku dengan dahi yang dikerutkan seperti mencurigaiku. sebelum ia benar-benar tersadar bahwa iapun menegenaliku.
Aku mengenal dewi sebelas tahun yang lalu ketika masa orientasi di kampus. Suaranya yang lantang dan sifatnya tegas membawa ia menjadi wakil senat. Suasana politik waktu itu membangunya menjadi seorang aktivis. 1998, ia mengajaku ke Senayan, mendukung hangar bingarnya demokrasi, tapi aku menolaknya karena harus segera pulang ke rumah. ayahku di PHK dan ibuku jantuh sakit. aku berhenti kuliah dan melupakan ajakan Dewi.
Kini aku hampir tidak mengenalnya, dua lensa tebal kini mengiasi wajahnya, bercak-bercak hitam di kulit pipinya telah menghilangkan jejaknya dari seorang Dewi yang dulu kukenal sangat anggun.
Kami bicara seperti sepasang kekasih yang lama tak berjumpa. Mula-mula ia bercerita pekerjaan, nadanya terdengar seperti mengeluh. kemudian menceritakan kenakalan anaknya yang berumur sembilan tahun, “Nakalnya minta ampun, aku hampir tak dapat mengendalikanya” keluhnya lagi.
Tapi wajahnya tertunduk ketika aku menanyakan siapa ayahnya, aku sempat melihat sebutir air mata jatuh di balik lensa kacamatanya. aku pura-pura tidak berdosa denga pertanyaanku dan coba mengalihkan pembicaraan. Tapi dengan suara yang terpengal-penggal ia mulai mengurai.
“Kami putuskan berangkat ke Jakarta meski tanpa kamu, rencananya hanya empat hari tapi keadaan memaksa lain. kami berbaur dalam hiruk pikuk dan hingar bingarnya lautan amarah. aku mengira semua kawan hingga aku terseret gelombang dan menghantamkanku kekarang yang tajam. Jakarta pecah, segerombolan orang menyeret tanganku dan membungkam mulutku. Aku tercabik seperti serpihan-serpihan kertas yang terhempas badai, hingga akhirnya semuanya gelap.”
“Aku terbangun di dalam ruag yang sangat dingin ditemani seorang suster yang masih sangat muda. Ia memberiku beberapa buku-buku yang terasa asing bagiku. Dengan sabar ia menyisir rambutku seperti ibuku yang lama telah meninggalkanku. Aku pulang dengan jiwa raga yang remuk. aku sudah menduganya, Ayahku mengusirku ketika ia tau aku mengandung. Aku mengunsi ke tempat nenek.di gunung, dua tahun aku tak keluar rumah bahkan aku tak berani menghidupkan tivi atau radio.”
“Kini ia sudah besar, Aku beri nama ia Anre semester depan ia kelas lima, ia sudah mulai menagih janjiku.” tiba-tiba ia mengehentikan ceritanya. ia mengangkat wajahnya sambil menarik nafas dalam-dalam. Dengan kacu merah ia mengepel wajahnya yang basah kemudian memaksakan sebuah senyuman padaku.
Hatiku remuk mendengar ceritanya, Aku tak mampu lagi bertanya. suara mesin perlahan mulai terdengar lagi ditelingaku, lampu-lampu jalan bersinar bias di sepanjang jalan menyinari aspal yang berkilat-kilat. Bus terus melaju.
2 komentar:
wah judule singkatan ya kang? orba banget ya....
repormasi kedaluarsa ya.. hasilnya nuihil.. korupsi malah ndadi
Posting Komentar