Siapa yang bodoh?
Kau
Siapa Yang tolol?
kau
Yang oon?
kau
yang paling bodoh?
...."Kau!"
Sapi menitikan airmatanya..
karena sapi tak pernah belajar membaca..
Guru Goblog
belajarlah sebelum belajar itu dilarang
Minggu, 17 Juli 2011
Paperless Office, Mungkinkah?
Paperless Office dan Kesadaran Lingkungan
Penulis: Dwi Nur Hidayat, S.Pd.
Sampah merupakan konsekuensi dari aktivitas manusia. Setiap aktivitas manusia, pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah dan volumenya sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang atau material yang kita g
unakan setiap hari.
Namun apabila sampah itu berupa sampah kertas, bayangkan betapa mubazirnya penggunaan kertas tersebut. Coba tengok sejenak kantor kita, disudut ruang, diatas meja, didalam lemari, di dekat printer, tumpukan kertas dimana-mana. Kita sering kebingungan mencari dokumen yang kita cari hanya karena tumpukan kertas yang menggunung. Sebgaian memang dokumen-dokumen penting tapi sebagian besarnya lagi adalah sampah.
Dapatkah kita menekanya?
Kertas-kertas yang kita gunakan sehari-hari adalah hasil dari pengolahan kayu yang diambil dari hutan-hutan penyangga bumi. Kita tau, kertas terbuat dari bubur kayu. Karena permintaan kertas yang tinggi volume penebangan hutan kayupun semakin tinggi. Bisa ditebak, jika hutan-hutan semakin keropos karena ditebang, berarti ancaman serius bagi bumi kita.
Kesadaran inilah yang memunculkan sebuah konsep paperless office, sebuah konsep yang menekankan penggunaan kertas sesedikit mungkin dan digitalisasi dokumen. Manfaatnya adalah efisiensi, produktivitas,hemat biaya dan mengurangi dampak buruk lingkungan. Kemunculan istilah ini sebenarnya sudah lama, setidaknya di akhir 90-an. Paperless office juga merupakan tuntutan dari perkembangan teknologi komputer, ulasan tentang paperless office mulai dikenal melalui artikel Busines Week, 1975.
Dewasa ini, perkembangan teknologi komputer sangat memungkinkan pengalihan dari dokument berbasis kertas menjadi digital document. Di Yogyakarta, beberapa instansi yang telah berhasil menerapkan konsep ini adalah Pusat Pengembangan Teknologi Informasi dan komunikasi (PPTIK) Universitas Gajah Mada (UGM). PPTIK UGM telah berhasil menerapkan paperless office yang menghilangkan dokumen-dokumen kertas menjadi dokumen digital. Di PPTIK hanya ada dua jenis kertas: dari luar instansi atau diproduksi untuk dikirim keluar instansi, tinggal menunggu instansi lain ikut menyusul.
Ini membuktikan bahwa konsep ini benar-benar dapat diterapkan, tinggal bagaimana mental dan kemauan sumber daya manusianya. Dalam pelaksanaan di organisasi profit (swasta) bukan suatu hal yang sulit untuk menerapkan TIK sebagai media konvergensi menuju paperless office. Apalagi ditengah kemudahan teknologi dewasa ini.
Seperti beberapa waktu lalu, penulis berkesempatan sharing dengan jajaran redaksi harian Tribun Jogja tentang penerbitan harian ini yang tergolong baru. Yang menarik bagi penulis, ingatase media yang cukup banyak membutuhkan kertas untuk dicetak menjadi Koran tiap harinya, Tribun tetap memiliki visi yang cukup baik untuk paperless administration. Salah satunya, artikel, berita yang dibuat oleh wartawan Tribun, sama sekali tidak memerlukan kertas. Mereka menggunakan Blackberry (BB) dalam penulisan naskah dan berita kemudian mengirimnya lewat surat elektronik. Termasuk pengeditan dan rapat redaksi juga dilakukan melalui forum facebook dan twiter tanpa harus mengedit naskah yang dicetak dengan kertas. Efesien, cepat dan murah.
Satu lagi, seperti kebanyakan media, Tribun juga mengembangkan media online sebagai tuntutan perkembangan TIK saat ini. Bukan tidak mungkin, suatu saat nanti para pelanggan tidak lagi membaca berita melalui koran cetak melainkan via internet. Bisa dibayangkan, jika semua media sudah meninggalkan koran cetak, berapa banyak efesiensi kertas yang dilakukan. Berarti juga mengurangi penebangan hutan pohon di dunia, logikanya begitu.
Memang tidak mudah, serta merta mengalihkan budaya kertas menjadi budaya digital. Bahkan di era digital yang serba canggih sekalipun seperti saat ini. Dalam organisasi pemerintahan misalnya, sistim yang cenderung hierarkis membuat perubahan itu terasa sulit. Kemapanan dan kebiasaan lama menjadi sangat sulit dirubah. Yang lebih parah adalah salah persepsi tentang paperless office itu sendiri.
Paperless office bukan berarti kantor bebas kertas’ karena tidak mungkin kegiatan perkantoran meninggalkan samasekali kertas dalam aktifitasnya. Hal inilah yang sering dijadikan alasan untuk melanggengkan budaya lama meski seharusnya dapat dirubah.
Di pemerintahan, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sebenarnya sudah ada angin segar dari jajaran terkait. Pencanangan DIY sebagai ‘Cyber Province’ yaitu propinsi berbasis TIK sedikit banyak dapat menjadi gerbang untuk memasuki system layanan berbasis digital. Implementasi tersebut dikemas dalam program Digital Govermrnt Servive (DGS) dan telah dijalankan dengan melibatkan instansi di bawahnya.
Infrastruktur yang menjadi kendala umumpun mulai di bangun, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Disdikpora DIY bekerjasama dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika melaui Program Pemanfaatan TIK untuk Peningkatan Mutu Pendidikan menargetkan 2012 sebanyak 500 SD dan SMP memiliki fasilitas komputer yang memadai dan terhubung dengan jaringan internet. Fasilitas ini dilengkapi dengan virtual school dan virtual document termasuk buku digital dan media pembelajaran digital.
Jika ini dikembangkan dengan serius, bukan tidak mungkin DIY tidak saja menjadi Cyber Province, tapi juga pelopor paperless office- paperless digital. Kembali, sumber daya manusia (SDM) menjadi aspek penting untuk mengembangkan semua ini. Fasilitas secanggih apapun tanpa dukungan SDM yang memadai tidak akan mengubah apaun.
Membayangkan sebuah kantor tanpa sampah kertas untuk saat ini rasanya seperti mimpi, namun jika kita tidak memulainya dengan suatu tindakan yang nyata, mimpi itu akan tetap menjadi mimpi. Kesadaran akan betapa pentingnya meminimalisir penggunaan kertas untuk kelangsungan dan kelestarian alam juga harus terus di kampanyekan kepada generasi kita.
Para pendidik dapat menerapkan pendidikan ini di sekolah. Para siswa diajarkan bagaimana memanfaatkan kertas dengan sebaik-baiknya. Dulu, ketika penulis duduk di bangku SD, orang tua marah betul ketika mengetahui satu lembar belum habis sudah berganti dengan lembar yang baru dalam menulis. Para guru bisa menerapkan pada siwa, mendisiplinkan siswa menghemat dan memanfaatkan kertas sebaik-baiknya.
Pemahaman yang mendalam juga harus diberikan kepada siswa betapa kita harus efesien dalam penggunaan kertas. Akan lebih bijaksana, jika guru juga memberi teladan bagaimana memanfaatkan kertas dengan seefektif mungkin. Misalnya, mencetak teks dengan kertas bolak-balik, menyesuaikan marjin dengan teks, mendaur ulang kertas untuk kerajinan, nota, catatan kecil dan sebagainya.
Tindakan-tindakan kecil dengan kesadaran tinggi akan berdampak besar, termasuk dalam penerapan paperless office dan penghematan kertas untuk kelangsungan lingkungan.*(penulis adalah guru SDN Tanjungtirto 1)
Penulis: Dwi Nur Hidayat, S.Pd.
Sampah merupakan konsekuensi dari aktivitas manusia. Setiap aktivitas manusia, pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah dan volumenya sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang atau material yang kita g
unakan setiap hari.
Namun apabila sampah itu berupa sampah kertas, bayangkan betapa mubazirnya penggunaan kertas tersebut. Coba tengok sejenak kantor kita, disudut ruang, diatas meja, didalam lemari, di dekat printer, tumpukan kertas dimana-mana. Kita sering kebingungan mencari dokumen yang kita cari hanya karena tumpukan kertas yang menggunung. Sebgaian memang dokumen-dokumen penting tapi sebagian besarnya lagi adalah sampah.
Dapatkah kita menekanya?
Kertas-kertas yang kita gunakan sehari-hari adalah hasil dari pengolahan kayu yang diambil dari hutan-hutan penyangga bumi. Kita tau, kertas terbuat dari bubur kayu. Karena permintaan kertas yang tinggi volume penebangan hutan kayupun semakin tinggi. Bisa ditebak, jika hutan-hutan semakin keropos karena ditebang, berarti ancaman serius bagi bumi kita.
Kesadaran inilah yang memunculkan sebuah konsep paperless office, sebuah konsep yang menekankan penggunaan kertas sesedikit mungkin dan digitalisasi dokumen. Manfaatnya adalah efisiensi, produktivitas,hemat biaya dan mengurangi dampak buruk lingkungan. Kemunculan istilah ini sebenarnya sudah lama, setidaknya di akhir 90-an. Paperless office juga merupakan tuntutan dari perkembangan teknologi komputer, ulasan tentang paperless office mulai dikenal melalui artikel Busines Week, 1975.
Dewasa ini, perkembangan teknologi komputer sangat memungkinkan pengalihan dari dokument berbasis kertas menjadi digital document. Di Yogyakarta, beberapa instansi yang telah berhasil menerapkan konsep ini adalah Pusat Pengembangan Teknologi Informasi dan komunikasi (PPTIK) Universitas Gajah Mada (UGM). PPTIK UGM telah berhasil menerapkan paperless office yang menghilangkan dokumen-dokumen kertas menjadi dokumen digital. Di PPTIK hanya ada dua jenis kertas: dari luar instansi atau diproduksi untuk dikirim keluar instansi, tinggal menunggu instansi lain ikut menyusul.
Ini membuktikan bahwa konsep ini benar-benar dapat diterapkan, tinggal bagaimana mental dan kemauan sumber daya manusianya. Dalam pelaksanaan di organisasi profit (swasta) bukan suatu hal yang sulit untuk menerapkan TIK sebagai media konvergensi menuju paperless office. Apalagi ditengah kemudahan teknologi dewasa ini.
Seperti beberapa waktu lalu, penulis berkesempatan sharing dengan jajaran redaksi harian Tribun Jogja tentang penerbitan harian ini yang tergolong baru. Yang menarik bagi penulis, ingatase media yang cukup banyak membutuhkan kertas untuk dicetak menjadi Koran tiap harinya, Tribun tetap memiliki visi yang cukup baik untuk paperless administration. Salah satunya, artikel, berita yang dibuat oleh wartawan Tribun, sama sekali tidak memerlukan kertas. Mereka menggunakan Blackberry (BB) dalam penulisan naskah dan berita kemudian mengirimnya lewat surat elektronik. Termasuk pengeditan dan rapat redaksi juga dilakukan melalui forum facebook dan twiter tanpa harus mengedit naskah yang dicetak dengan kertas. Efesien, cepat dan murah.
Satu lagi, seperti kebanyakan media, Tribun juga mengembangkan media online sebagai tuntutan perkembangan TIK saat ini. Bukan tidak mungkin, suatu saat nanti para pelanggan tidak lagi membaca berita melalui koran cetak melainkan via internet. Bisa dibayangkan, jika semua media sudah meninggalkan koran cetak, berapa banyak efesiensi kertas yang dilakukan. Berarti juga mengurangi penebangan hutan pohon di dunia, logikanya begitu.
Memang tidak mudah, serta merta mengalihkan budaya kertas menjadi budaya digital. Bahkan di era digital yang serba canggih sekalipun seperti saat ini. Dalam organisasi pemerintahan misalnya, sistim yang cenderung hierarkis membuat perubahan itu terasa sulit. Kemapanan dan kebiasaan lama menjadi sangat sulit dirubah. Yang lebih parah adalah salah persepsi tentang paperless office itu sendiri.
Paperless office bukan berarti kantor bebas kertas’ karena tidak mungkin kegiatan perkantoran meninggalkan samasekali kertas dalam aktifitasnya. Hal inilah yang sering dijadikan alasan untuk melanggengkan budaya lama meski seharusnya dapat dirubah.
Di pemerintahan, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sebenarnya sudah ada angin segar dari jajaran terkait. Pencanangan DIY sebagai ‘Cyber Province’ yaitu propinsi berbasis TIK sedikit banyak dapat menjadi gerbang untuk memasuki system layanan berbasis digital. Implementasi tersebut dikemas dalam program Digital Govermrnt Servive (DGS) dan telah dijalankan dengan melibatkan instansi di bawahnya.
Infrastruktur yang menjadi kendala umumpun mulai di bangun, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Disdikpora DIY bekerjasama dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika melaui Program Pemanfaatan TIK untuk Peningkatan Mutu Pendidikan menargetkan 2012 sebanyak 500 SD dan SMP memiliki fasilitas komputer yang memadai dan terhubung dengan jaringan internet. Fasilitas ini dilengkapi dengan virtual school dan virtual document termasuk buku digital dan media pembelajaran digital.
Jika ini dikembangkan dengan serius, bukan tidak mungkin DIY tidak saja menjadi Cyber Province, tapi juga pelopor paperless office- paperless digital. Kembali, sumber daya manusia (SDM) menjadi aspek penting untuk mengembangkan semua ini. Fasilitas secanggih apapun tanpa dukungan SDM yang memadai tidak akan mengubah apaun.
Membayangkan sebuah kantor tanpa sampah kertas untuk saat ini rasanya seperti mimpi, namun jika kita tidak memulainya dengan suatu tindakan yang nyata, mimpi itu akan tetap menjadi mimpi. Kesadaran akan betapa pentingnya meminimalisir penggunaan kertas untuk kelangsungan dan kelestarian alam juga harus terus di kampanyekan kepada generasi kita.
Para pendidik dapat menerapkan pendidikan ini di sekolah. Para siswa diajarkan bagaimana memanfaatkan kertas dengan sebaik-baiknya. Dulu, ketika penulis duduk di bangku SD, orang tua marah betul ketika mengetahui satu lembar belum habis sudah berganti dengan lembar yang baru dalam menulis. Para guru bisa menerapkan pada siwa, mendisiplinkan siswa menghemat dan memanfaatkan kertas sebaik-baiknya.
Pemahaman yang mendalam juga harus diberikan kepada siswa betapa kita harus efesien dalam penggunaan kertas. Akan lebih bijaksana, jika guru juga memberi teladan bagaimana memanfaatkan kertas dengan seefektif mungkin. Misalnya, mencetak teks dengan kertas bolak-balik, menyesuaikan marjin dengan teks, mendaur ulang kertas untuk kerajinan, nota, catatan kecil dan sebagainya.
Tindakan-tindakan kecil dengan kesadaran tinggi akan berdampak besar, termasuk dalam penerapan paperless office dan penghematan kertas untuk kelangsungan lingkungan.*(penulis adalah guru SDN Tanjungtirto 1)
Selasa, 19 Oktober 2010
guru
rumah...
anak ngamuk...guru
tetangga rewel...guru
tawuran ibu2...guru
kerja bakti...guru
kegiatan kampung...guru
sekolah
anak nakal...guru
anak prestasi..guru
anak nyolong...guru
cerda...guru
mbalelo...guru
negri...
ekonomi seret...guru
pengangguran mebludak...guru
moral jeblok...guru
konflik umay...guru
guru..guru..guru
oalah guru..
ehhhhhh
alhamdulilah guru..
20/10/2010
Sleman...Indonesia.
anak ngamuk...guru
tetangga rewel...guru
tawuran ibu2...guru
kerja bakti...guru
kegiatan kampung...guru
sekolah
anak nakal...guru
anak prestasi..guru
anak nyolong...guru
cerda...guru
mbalelo...guru
negri...
ekonomi seret...guru
pengangguran mebludak...guru
moral jeblok...guru
konflik umay...guru
guru..guru..guru
oalah guru..
ehhhhhh
alhamdulilah guru..
20/10/2010
Sleman...Indonesia.
Selasa, 23 Februari 2010
Kalau Cinta
kalau cinta sudah dibuang...janagn harap damai kan datang kalau benci tumbuh dihati...jangan harap kasih sayang kalau hidup tak ada harapan..tunggu saja mati kalau pedang sudah terhunus..perang pasti mulai kalau mendung sudah menggunung...hujan badai pasti terjadi kalau alam sudah murka...bertobatlah pada yang kuasa......
Syair Lebah
banyak penggemar tak tau siapa yang dipuja banyak fans buta siapa bintangnya lupa diri..lupa daratan...lupa muka..lupa namanya.. merayakan diri akan ketersesatanya..membuka racun dalam botol kemudian memasukan ke pori-porinya...menjerit terbahak-bahak seakan tiada langit di atasanya... setan alas!!!!!!
Selasa, 19 Januari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)